04 March 2009

Nafas-nafas Tersengal

Sabtu malam, adzan isya baru saja berkumandang, tanpa memecah kebisingan dan haru biru kota yang semakin ramai. Seakan seruan itu sebagai tanda akan dimulainya perburuan nafas-nafas tersengal, berebut udara segar. Pesta malam minggu pun di mulai. Kota dihiasi gemerlap lampu lampu, di iringi dentuman musik band dan nyanyian-nyanyian, yang lebih terdengar sebagai raungan kebisuan dan geraman keterasingan, menggorok leher merindukan menthol menyelimuti dinding ketidakpastian. Atau hanya sekedar pesta berduaan, ditemani lampu lima watt berkumul sarang laba-laba, yang terkoyak cakar angin yang setia menemani setiap lorong dan rongga dan bilik bambu rumah gubuk ditepi ladang. Sinarnya masih dikalahkan lampion-lampion yang tergantung dilangit setengah redup, dalam siulan kenestapaan. Dari sinarnya yang ikut menemani sang malam, tampak penyesalan ketidakberdayaan. Pesta muda-mudi dengan nafas-nafas tersengal pun sempurna sudah. Tak ada yang mereka pikirkan untuk hari esok, kecuali bagaimana agar pesta minggu depan lebih asik. Isi kepala mereka di selimuti asap-asap pembius orang sekarat, dan tangan mereka, hampir tak menyisakan lahan untuk membuat lagi sayatan untuk di hisap. Malam mulai dingin, namun nafas-nafas tersengal tak juga berhenti, walau kini tak ada lagi jingkrakan, tak terdengar lagi dentuman musik yang memekakan telinga. Hanya sisa-sisa tenaga untuk pulang walau harus sempoyongan dan tersaruk-saruk. Adzan subuh berkumandang lembut, selembut butiran-butiran embun yang membelai ujung daun, namun bagiku terdengar seperti tangisan karena tak mampu ikut menyejukkan udara yang di hisap nafas-nafas tersengal.

01 March 2009

Hitam Itu Datang Lagi

hitamku

Ketika gelap datang menghantuiku lagi, aku kembali tersungkur dalam jurang yang cukup dalam. Kedalaman tempat aku terjatuh mungkin sama, sehingga sakit yang aku rasakan tidak jauh berbeda. Lentera yang baru saja kudapatkan pijarnya sengaja ku padamkan agar tidak terlalu lama membuaiku, membuatku lupa diri dengan menghalalkan segala cara. Pijar itu kutiup dengan lembut seiring nyanyian merdu seorang gadis manis yang seolah mulai menampakkan maknanya. Mungkin Tuhan (kali ini) hanya sebentar 'meminjamkan' pijarnya. Tapi bagiku, itu luar biasa. Karena aku mampu untuk memaknainya. Meski sementara, pijar itu setidaknya sudah membantu untuk mampu melihat jalan di depanku yang ternyata masih cukup panjang, dan menuntun untuk kembali berjalan normal, menyambut impian-impian yang tak kunjung datang. Waktu yang sempat berkompromi memberiku peluang untuk masuk dalam celah nan indah yang tersembunyi diantara puing-puing kekecewaan. Namun kali ini waktu juga yang menyeretku keluar dan memaksaku untuk lebih sabar menunggunya sampai sudi untuk berkompromi kembali, menuntun masuk ke dalam celah yang lain, yang lebih indah, atau mengembalikanku pada celah-celah sebelumnya, yang (semoga) masih tetap bisa kurasa indahnya.