09 April 2011

Dimana Air Matamu

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena merasa takut kepada Allah sampai susu [yang telah diperah] bisa masuk kembali ke tempat keluarnya.” (HR. Tirmidzi [1633]).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; [1] seorang pemimpin yang adil, [2] seorang pemuda yang tumbuh dalam [ketaatan] beribadah kepada Allah ta’ala, [3] seorang lelaki yang hatinya bergantung di masjid, [4] dua orang yang saling mencintai karena Allah; mereka berkumpul dan berpisah karena-Nya, [5] seorang lelaki yang diajak oleh seorang perempuan kerkedudukan dan cantik [untuk berzina] akan tetapi dia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’, [6] seorang yang bersedekah secara sembunyi-sumbunyi sampai-sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan [7] seorang yang mengingat Allah di kala sendirian sehingga kedua matanya mengalirkan air mata (menangis).” (HR. Bukhari [629] dan Muslim [1031]).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Ada dua buah mata yang tidak akan tersentuh api neraka; mata yang menangis karena merasa takut kepada Allah, dan mata yang berjaga-jaga di malam hari karena menjaga pertahanan kaum muslimin dalam [jihad] di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi [1639], disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi [1338]).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang lebih dicintai oleh Allah selain dua jenis tetesan air dan dua bekas [pada tubuh]; yaitu tetesan air mata karena perasaan takut kepada Allah, dan tetesan darah yang mengalir karena berjuang [berjihad] di jalan Allah. Adapun dua bekas itu adalah; bekas/luka pada tubuh yang terjadi akibat bertempur di jalan Allah dan bekas pada tubuh yang terjadi karena mengerjakan salah satu kewajiban yang diberikan oleh Allah.” (HR. Tirmidzi [1669] disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi [1363])

Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan, “Sungguh, menangis karena takut kepada Allah itu jauh lebih aku sukai daripada berinfak uang seribu dinar!”.

Ka’ab bin al-Ahbar rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya mengalirnya air mataku sehingga membasahi kedua pipiku karena takut kepada Allah itu lebih aku sukai daripada aku berinfak emas yang besarnya seukuran tubuhku.”

Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan; suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Bacakanlah al-Qur’an kepadaku.” Maka kukatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah saya bacakan al-Qur’an kepada anda sementara al-Qur’an itu diturunkan kepada anda?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya aku senang mendengarnya dibaca oleh selain diriku.” Maka akupun mulai membacakan kepadanya surat an-Nisaa’. Sampai akhirnya ketika aku telah sampai ayat ini (yang artinya), “Lalu bagaimanakah ketika Kami datangkan saksi bagi setiap umat dan Kami jadikan engkau sebagai saksi atas mereka.” (QS. an-Nisaa’ : 40). Maka beliau berkata, “Cukup, sampai di sini saja.” Lalu aku pun menoleh kepada beliau dan ternyata kedua mata beliau mengalirkan air mata.” (HR. Bukhari [4763] dan Muslim [800]).

Dari Ubaidullah bin Umair rahimahullah, suatu saat dia pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu’anha, “Kabarkanlah kepada kami tentang sesuatu yang pernah engkau lihat yang paling membuatmu kagum pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Maka ‘Asiyah pun terdiam lalu mengatakan, “Pada suatu malam, beliau (nabi) berkata, ‘Wahai Aisyah, biarkanlah malam ini aku sendirian untuk beribadah kepada Rabbku.’ Maka aku katakan, ‘Demi Allah, sesungguhnya saya sangat senang dekat dengan anda. Namun saya juga merasa senang apa yang membuat anda senang.’ Aisyah menceritakan, ‘Kemudian beliau bangkit lalu bersuci dan kemudian mengerjakan shalat.’ Aisyah berkata, ‘Beliau terus menerus menangis sampai-sampai basahlah bagian depan pakaian beliau!’. Aisyah mengatakan, ‘Ketika beliau duduk [dalam shalat] maka beliau masih terus menangis sampai-sampai jenggotnya pun basah oleh air mata!’. Aisyah melanjutkan, ‘Kemudian beliau terus menangis sampai-sampai tanah [tempat beliau shalat] pun menjadi ikut basah [karena tetesan air mata]!”. Lalu datanglah Bilal untuk mengumandangkan adzan shalat (Subuh). Ketika dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis, Bilal pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, anda menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosa anda yang telah berlalu maupun yang akan datang?!’. Maka Nabi pun menjawab, ‘Apakah aku tidak ingin menjadi hamba yang pandai bersyukur?! Sesungguhnya tadi malam telah turun sebuah ayat kepadaku, sungguh celaka orang yang tidak membacanya dan tidak merenungi kandungannya! Yaitu ayat (yang artinya), “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi….dst sampai selesai” (QS. Ali Imran : 190).” (HR. Ibnu Hiban [2/386] dan selainnya. Disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih at-Targhib [1468] dan ash-Shahihah [68]).

Mu’adz radhiyallahu’anhu pun suatu ketika pernah menangis tersedu-sedu. Kemudian ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Karena Allah ‘azza wa jalla hanya mencabut dua jenis nyawa. Yang satu akan masuk surga dan satunya akan masuk ke dalam neraka. Sedangkan aku tidak tahu akan termasuk golongan manakah aku di antara kedua golongan itu?”.

al-Hasan al-Bashri rahimahullah pun pernah menangis, dan ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Aku khawatir besok Allah akan melemparkan diriku ke dalam neraka dan tidak memperdulikanku lagi.”

Abu Musa al-Asya’ri radhiyallahu’anhu suatu ketika memberikan khutbah di Bashrah, dan di dalam khutbahnya dia bercerita tentang neraka. Maka beliau pun menangis sampai-sampai air matanya membasahi mimbar! Dan pada hari itu orang-orang (yang mendengarkan) pun menangis dengan tangisan yang amat dalam.

Abu Hurairah radhiyallahu’anhu menangis pada saat sakitnya [menjelang ajal]. Maka ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?!”. Maka beliau menjawab, “Aku bukan menangis gara-gara dunia kalian [yang akan kutinggalkan] ini. Namun, aku menangis karena jauhnya perjalanan yang akan aku lalui sedangkan bekalku teramat sedikit, sementara bisa jadi nanti sore aku harus mendaki jalan ke surga atau neraka, dan aku tidak tahu akan ke manakah digiring diriku nanti?”.

Suatu malam al-Hasan al-Bashri rahimahullah terbangun dari tidurnya lalu menangis sampai-sampai tangisannya membuat segenap penghuni rumah kaget dan terbangun. Maka mereka pun bertanya mengenai keadaan dirinya, dia menjawab, “Aku teringat akan sebuah dosaku, maka aku pun menangis.”

Saya [penyusun artikel] berkata: Kalau al-Hasan al-Bashri saja menangis sedemikian keras karena satu dosa yang diperbuatnya, lalu bagaimanakah lagi dengan orang yang mengingat bahwa jumlah dosanya tidak dapat lagi dihitung dengan jari tangan dan jari kaki? Laa haula wa laa quwwata illa billah! Alangkah jauhnya akhlak kita dibandingkan dengan akhlak para salafush shalih? Beginikah seorang salafi, wahai saudaraku? Tidakkah dosamu membuatmu menangis dan bertaubat kepada Rabbmu? “Apakah mereka tidak mau bertaubat kepada Allah dan meminta ampunan kepada-Nya? Sementara Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (lihat QS. al-Maa’idah : 74).

Aina nahnu min haa’ulaa’i? Aina nahnu min akhlagis salaf? Ya akhi, jadilah salafi sejati!

Disarikan dari al-Buka’ min Khas-yatillah, asbabuhu wa mawani’uhu wa thuruq tahshilihi, hal. 4-13 karya Abu Thariq Ihsan bin Muhammad bin ‘Ayish al-’Utaibi, tanpa penerbit, berupa file word.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

20 May 2009

Nenek

Ada seorang remaja wanita masih sekolah di kelas 2 SMA
Setiap hari ditugaskan untuk merawat neneknya…
Neneknya sudah lumpuh… hidupnya hanya dihabiskan di tempat tidur
Suatu saat… ia mulai protes karena ketidak adilan yang dirasakannya
Ma… gantian dong yang merawat nenek…
Masa setiap hari harus aku…
Kemudian mamanya memotivasi
Nak… merawat nenek pahalanya banyak…
Sesekali anak itu mau menuruti mamanya
Tapi disaat lain
Ia mulai protes lagi…
Ma… gantian dong yang merawat nenek…
Masa setiap hari harus aku…
Kenapa mesti aku… kenapa tidak mama… kenapa tidak papa… kenapa tidak kakak atau adik yang merawat nenek… tapi kenapa harus aku terus!… protesnya mulai keras
Mamanya memeluk sambil menangis…
Nak… kamu sudah besar… kamu benar-benar mau tau kenapa?...
Mau ma….
Dulu saat kamu masih umur 6 bulan…
Malam itu rumah kita kebakaran… semua orang menyelamatkan diri dan barang2 yang bisa diselamatkan. Papa dan nenek menggendong kakak2mu dan mama menggendong kamu… setelah kita keluar semua… papa bertanya mana bayinya?
Tanpa sadar ternyata yang mama gendong bukan bayi tapi guling kecil.
Kami baru sadar..Tenyata kamu masih di dalam rumah… di lantai 2.
Tiba2 saja dari arah belakang… lari menerjang masuk kedalam rumah…
Ternyata nenekmu nak…nenekmu… lari memaksa masuk kedalam rumah… kemudian naik kelantai dua… setelah membawa mu… nenek terjun dari lantai dua… sambil menggendong kamu…
mulai saat itulah nenekmu lumpuh…
Anak itu terdiam sambil meneteskan air mata tanpa suara…
Mulai saat itu… ia tidak pernah lagi protes saat disuruh merawat neneknya
Bahkan hari2 nya dihabiskan untuk merawat neneknya… ia sangat senang dan bangga bisa merawat neneknya… ia bangga pada neneknya…
Tiada kesenangan melebihi kesenangan merawat neneknya.
Andaikan kita tau kenapa kita berbuat sesuatu maka pastilah kita akan bekerja dengan ikhlas, tekun dan serius

Suatu Saat kita akan faham…
Apapun akan kita lakukan untuk membahagiakan orang2 yang kita cintai dan mencintai kita
Karena Allah mencitai kita dan kita mencintai Allah…. @





Bisa jadi yang menurut kamu buruk padahal menurut Allah itu baik
Dan bisa jadi yang menurut kamu baik tapi itu buruk menurut Allah
Andaikan anda tau bahwa rizki sudah dekat… maka pasti anda tidak akan lelah untuk mengejarnya.
Andai anda tau dengan rizki itu anda bisa membahagiakan orang2 yang anda cintai… pastilah anda tidak akan pernah diam untuk segera berdoa dan bekerja demi mendapatkannya



Sering kali kita mengeluh…menyalahkan orang lain… menyalahkan kondisi… bahkan menyalahkan Allah… kenapa harus saya…
Kenapa bukan orang lain… kenapa bukan mereka… kenapa harus saya… apa salah saya
Menyalahkan keadaan tidak akan memberikan solusi… fahami maka ternyata banyak kenikmatan dan kesenangan yang Allah berikan di setiap kondisi…

19 May 2009

Melompat lebih jauh dan tinggi

Ada seekor belalang telah lama terkurung dalam sangkar berupa kotak kecil. Suatu saat ia berhasil keluar dari kotak yang mengurungnya. Dengan gembira ia melompat lompat menuju padang rumput menikmati kebebasannya. Di perjalanan ia bertemu dengan seekor belalang lain. Ia keheranan melihat lompatan belalang itu lebih tinggi dan lebih jauh dari lompatannya. Padahal jika dilihat sepertinya dia sebaya.
Dengan penasaran dia menghampiri belalang tersebut dan bertanya, " koq bisa sih kamu melompat setinggi dan sejauh itu, bagaimana caranya? "
"setahuku semua belalang disini mempunyai lompatan sejauh dan setinggi yang aku lakukan, memangnya kamu dari mana? " Belalang itu balik bertanya.
Saat itulah belalang kita baru menyadari, bahwa selama ini kotak itulah yang membuat lompatannya tidak sejauh dan setinggi belalang lain di alam bebas.
Begitulah, kadang kadang kita sebagai manusia tanpa sadar mengalami hal yang sama dengan belalang tadi. Kita sering terkurung dalam kotak semu yang membatasi semua kelebihan kita. Pembatasan yang sering kita lakukan sendiri, kita merasa aman dan nyaman dengan apa yang telah ditetapkan oleh lingkungan kita dan keadaan, hingga muncul suatu pendapat bahwa memang begitulah kita seharusnya.
Tetapi tidakkah kita mempertanyakan kepada nurani bahwa kita bisa ' melompat lebih tinggi dan lebih jauh ' jika kita mau menyingkirkan ' kotak ' itu?
Tidakkah kita ingin membebaskan diri agar bisa mencapai sesuatu yang selama ini kita anggap diluar batas kemampuan kita?
Beruntung sebagai manusia, kita dibekali tuhan kemampuan untuk berjuang, tidak hanya menyerah begitu saja pada apa yang kita alami. Karena itu wahai teman, teruslah berusaha mencapai apapun yang anda ingin capai. Sakit memang, lelah memang, tapi jika sudah sampai dipuncak, semua pengorbanan itu akan terbayar.
Kehidupan kita akan lebih baik kalau dapat hidup dengan cara hidup pilihan kita sendiri, bukan cara hidup seperti yang mereka pilihkan untuk kita....

04 March 2009

Nafas-nafas Tersengal

Sabtu malam, adzan isya baru saja berkumandang, tanpa memecah kebisingan dan haru biru kota yang semakin ramai. Seakan seruan itu sebagai tanda akan dimulainya perburuan nafas-nafas tersengal, berebut udara segar. Pesta malam minggu pun di mulai. Kota dihiasi gemerlap lampu lampu, di iringi dentuman musik band dan nyanyian-nyanyian, yang lebih terdengar sebagai raungan kebisuan dan geraman keterasingan, menggorok leher merindukan menthol menyelimuti dinding ketidakpastian. Atau hanya sekedar pesta berduaan, ditemani lampu lima watt berkumul sarang laba-laba, yang terkoyak cakar angin yang setia menemani setiap lorong dan rongga dan bilik bambu rumah gubuk ditepi ladang. Sinarnya masih dikalahkan lampion-lampion yang tergantung dilangit setengah redup, dalam siulan kenestapaan. Dari sinarnya yang ikut menemani sang malam, tampak penyesalan ketidakberdayaan. Pesta muda-mudi dengan nafas-nafas tersengal pun sempurna sudah. Tak ada yang mereka pikirkan untuk hari esok, kecuali bagaimana agar pesta minggu depan lebih asik. Isi kepala mereka di selimuti asap-asap pembius orang sekarat, dan tangan mereka, hampir tak menyisakan lahan untuk membuat lagi sayatan untuk di hisap. Malam mulai dingin, namun nafas-nafas tersengal tak juga berhenti, walau kini tak ada lagi jingkrakan, tak terdengar lagi dentuman musik yang memekakan telinga. Hanya sisa-sisa tenaga untuk pulang walau harus sempoyongan dan tersaruk-saruk. Adzan subuh berkumandang lembut, selembut butiran-butiran embun yang membelai ujung daun, namun bagiku terdengar seperti tangisan karena tak mampu ikut menyejukkan udara yang di hisap nafas-nafas tersengal.